Ego dan Luka Batin

Posted on Mei 26, 2015

3


Menurut orang-orang yang sudah tercerahkan, ego adalah bagian dari jati diri manusia yang sifat utamanya adalah dua: identifikasi diri, dan keterpisahan.

Karena mempunyai ego, Anda benar-benar tahu siapa diri Anda. Anda sanggup mengenali sifat, kesukaan, ketidaksukaan, dan sebagainya. Sering kan Anda mengatakan: “Aku ini orangnya blak-blakan tapi tulus”, atau “aku ini orangnya memang gini: tegas dan keras”, “Aku ini memang cemburuan”, dan masih banyak lagi. Ego memampukan Anda untuk mengatakan semua itu. Identifikasi terhadap jati dirinya sangat teguh.

Yang kedua adalah keterpisahan. Karena membangun tembok psikologis yang dimulai dari “aku” tadi, maka dengan sendirinya Anda terpisah dari manusia lain, dari makhluk lain, bahkan– ketika ego itu makin lama makin kuat dan Anda tidak cukup bijak untuk menghentikan dominasinya–terpisah dari alam yang sejatinya adalah bagian dari zat Anda sebagai Being. Saya yakin Anda pernah merasakan berada di suatu kelompok dan mengatakan dalam hati: “Ini bukan tipeku. Males ah gaul sama mereka”, atau merasa tidak nyaman ketika berada di luar gedung tanpa gadget dan hanya ditemani alam sekitar. Itu saya yakin adalah dampak dari kuatnya ego mengurung Anda dalam pusaran energinya.

Luka batin, masih menurut para bijaksana itu, adalah luka yang diderita oleh ego dan membekas lama sekali. Bukan cuma itu, tapi juga sangat mempengaruhi interaksi Anda dengan alam dan manusia sekitar. Seorang yang orang tuanya bercerai di masa kecil dan kehilangan kehangatan sentuhan seorang ibu akan membawa luka batin itu sampai dewasa, dan tanpa sadar bereaksi emosional ketika ada peristiwa kecil yang mengusik luka tersebut. Banyak di antara kita yang membawa luka batin ini di alam bawah sadarnya.

Sebenarnya siapa yang terluka? Ya ego itu tadi.

Jadi, ego dan luka batin adalah bentuk energi. Para bijak itu bahkan tanpa ragu memandangnya sebagai suatu entitas tersendiri dalam jiwa manusia. Karena dia entitas, alias makhluk hidup, dia butuh untuk terus hidup. Salah satu caranya adalah dengan mengundang drama dalam kehidupan Anda. Pernahkah mengalami perselisihan atau bahkan pertengkaran dengan teman dekat? Pernahkah sedang enak-enak mengendarai mobil tahu-tahu ada yang memotong jalan seenaknya sehingga Anda terpaksa memaki? Bahkan dengan kekasih pun kita pernah bertengkar. Itu kerjaan siapa kalau bukan ego yang terus mencoba menghidupi dirinya? “Pain feeds on pain”, demikian kata salah seorang spiritualis itu. Ego dan lukanya hanya akan hidup kalau ada situasi yang membuat tuan rumahnya (baca: Anda) terjerumus ke dalam drama, ke dalam situasi yang penuh dengan gejolak emosi dan amarah atau kesedihan. Akan lebih celaka lagi kalau Anda ternyata menjadikan mereka itu bagian dari jati diri Anda. “Egoku terluka”, “Ini melukai hatiku”, “Aku tersinggung atas tindakanmu”, “Sakit hatiku” dan sebagainya adalah ungkapan khas kita-kita ini yang tanpa sadar telah mengidentikkan diri kita dengan sang ego dan luka batin tadi. Ego bersorak-sorak karena dengan demikian eksistensinya makin dikukuhkan. Dia tidak hanya sebagai entitas dan energi, tapi dia sudah hidup sejahtera dalam diri Anda, bersinar kuat dalam diri Anda, bahkan menjadi diri Anda itu! Luar biasa sejahteranya hidup sang ego ini ketika Anda mengakuinya sebagai jati diri Anda.

Padahal ego juga rapuh dan sangat tidak langgeng. Anda merasa menang hari ini karena mendapat gelar terbaik di kampus Anda? Tahun depan akan ada yang lebih baik. Kalaupun tidak tahun depan, di tempat lain ternyata ada yang lebih baik dari Anda. Kalaupun Anda bertahan sekian tahun lamanya, pasti ada saat dimana Anda akan kalah. Ketika Anda mati, semua reputasi keegoan itu juga ikut mati, lama-lama dilupakan orang. Apapun yang dilakukan untuk memuaskan ego adalah sangat fana, akan lenyap suatu ketika. Kemenangan, perasaan puas bisa mengalahkan, kesenangan material, itu semua hanya manifestasi sang ego yang berpindah dari satu kutub ke kutub lainnya. Kalau kita menjadikan ego itu bagian dari diri kita, seumur hidup kita akan timbul tenggelam dalam puncak kenikmatan sesaat tapi juga hempasan amuk dan kesedihannnya, sama seperti seorang yang timbul tenggelam di lautan yang sedang mengganas karena badai.

Lha terus gimana supaya tidak kalah oleh ego?

Ego tidak bisa dikalahkan, demikian kata para orang bijak. Tapi ada cara untuk tidak larut dalam pusarannya. Caranya adalah dengan kesadaran bahwa sekalipun ada, ego dan luka batin itu bukanlah diri Anda. Anda, pada inti terdalam, adalah keheningan dan ketenangan abadi yang tanpa rasa tanpa emosi dan tanpa penghakiman itu (non-judgmental being). Yang perlu Anda lakukan adalah kesadaran penuh akan kekinian, dan menyadari sesadar-sadarnya bahwa ada ego yang sedang melonjak-lonjak dalam diri Anda, tapi juga kesadaran bahwa Anda bukanlah ego tersebut. Untuk itu, be present, be aware, demikian kata mereka.

Hanya dengan demikian Anda tidak lagi mengidentikkan diri Anda sebagai ego Anda. Memang, dia masih akan ada, tapi Anda sadar-sesadarnya bahwa dia bukanlah Anda. Anda jauh lebih besar daripada dia. Ketika berada dalam kesadaran kekinian dan keheningan total itu, yang ada hanyalah ketenangan (stillness).

Itulah yang saya bisa sarikan dari beberapa panduan para tercerahkan ini. Memang kedengarannya tidak masuk akal, aneh, bahkan gila. Tapi semua label yang saya tulis tadi (tidak masuk akal, aneh, gila) sekali lagi adalah kerjaan ego yang memang selalu menghakimi (judgmental). Kalau Anda setuju dengan label-label itu, ya itulah, sang ego sedang memancar dengan sangat kuatnya dari kedirian Anda.

H u s h . . . be still, be S I L E N T . . . .

Posted in: Uncategorized