Roh Bangkitkan Kami

Posted on Februari 26, 2011

0


Pagi ini saya mulai dengan menghadiri seminar A MIXED BAG yang diselenggarakan Prodi Sastra Inggris di Theater Room. Saya agak kaget sekaligus senang melihat semua mentee saya dari Prodi itu hadir. Tiga jadi panitia, dan satu lagi datang telat. Dia langsung duduk di sebelah saya, dan dengan sikap manis mendengarkan pembicara dari luar negeri tersebut dengan atentif, sambil sesekali mencatat di bukunya. Dia cerita baru membeli obat, karena sudah beberapa hari ini hidungnya mimisan terus. Saya jadi terenyuh. Anak ini dalam kondisi belum fit, dan dari status-status FB nya beberapa hari terakhir, saya tahu hatinya masih menyimpan amarah. Tapi toh dia datang, dan bukan untuk sekedar bikin foto-foto atau ngobrol dengan teman-temannya, tapi untuk menambah wawasan akademisnya.

Saya tidak perduli apakah sikap sangat positif itu terbentuk dari mentornya, atau tidak sama sekali. Yang jelas, saya jadi tahu lebih jauh tentang mahasiswi ini. Dia tidak segan menangis atau marah, tapi dia tahu bagaimana menyalurkan energi negatif itu ke sesuatu yang lebih positif. Salut!

Sore, saya main perang-perangan sama si bungsu. Sepuluh kali main, skornya 10 – 0 untuk saya karena dia benar-benar dodol, taktiknya kalah jitu dan kalah ‘jahat’ daripada Papanya. “Dalam perang, kamu harus punya taktik,” demikian saya menasehati si bungsu yang baru mau 8 tahun itu setelah capek tertawa terbahak-bahak melihat ‘ketololannya’. “Kamu harus mengira-ngira musuhmu itu sedang mikir apa; lalu kamu harus melakukan sesuatu untuk menjebaknya.”

Usai main, saya buka Facebook, mengunjungi satu persatu mentee saya yang hanya 7 itu. Yang sedang marah, yang sedang gak jelas, yang sedang happy pacaran, yang biasa-biasa saja, yang lucu, yang pendiam, yang dewasa. Saya duduk mematung, mencoba merasakan satu persatu apa yang sedang mereka rasakan . . . .

Lalu mendadak terdengarlah nyanyian itu. Mula-mula lamat-lamat, makin lama makin jelas terngiang-ngiang di telinga saya. Merasa terusik, saya sampai menutup telinga saya. Bodoh juga, karena nyanyian itu tidak bersumber dari luar, tapi entah dari mana seperti ada koor dari dalam pikiran saya.

Ini bunyinya:

“Roh Allah, bangkitkan kami dengan sabda dan hidupMu”.

Lagi, “Roh Allah, bangkitkan kami dengan sabda dan hidupMu”, lagi, lagi, dan lagi, berulang kali memenuhi telinga dan pikiran saya. . . . Nadanya yang mistis, tekanan pada setiap suku katanya, . . . . serasa menerbangkan saya ke alam lain . . . .

Saya tahu nyanyian itu. Saya terakhir kali mendengarnya entah sudah berapa belas atau bahkan puluh tahun yang lalu di gereja.

Divine intervention? A sign of me becoming insane?

Karena capek mengusirnya, akhirnya saya pasrah dan mencoba meresapi apa yang dilantunkan oleh nyanyian itu.

Lambat namun pasti, saya mulai menyadari betapa bermaknanya lirik lagu rohani itu buat jiwa saya. Bukankah selama ini sebenarnya saya sudah mati? Mati rasa, mati emosi, mati kasih sayang, mati kemampuan untuk menyayangi . . . . Saya hanya hidup untuk aku, aku, dan aku. Di kantor, di kelas, di kelompok mentoring, bahkan di keluarga, saya hanya memikirkan “aku”. Dampaknya jelas: sang aku menjadi sejahtera karena senantiasa diproteksi, dielus-elus, dijauhkan dari cobaan dan tempaan, tapi untuk orang lain mungkin saya sudah kelihatan bukan manusia lagi. . . .

Mungkin juga itu doa yang harus saya panjatkan untuk semua orang yang saya sayangi. Kami semua sudah mati, atau setidaknya koma. Hanya Kasih yang bisa membangkitkan kami menjadi manusia seutuhnya, lengkap dengan keperdulian untuk sesama manusia lain, lengkap dengan keinginan untuk mengalahkan ego dan pikiran-pikiran murung atau jahat.

Posted in: Uncategorized