Pagi tadi saya kedatangan seorang mantan mahasiswa yang sekarang bekerja di sebuah lembaga keuangan. Setelah ngomong ngalor ngidul soal kampus, usia, punya baby dan lain-lain, saya melontarkan pertanyaan yang sudah saya pendam sejak lama:
“Ada hubungannya ndak antara kuliahmu dulu disini dengan bidang pekerjaanmu sekarang?”
Pria muda yang sebentar lagi punya baby itu menjawab: “Yah, tidak juga, Sir.” Ya betul juga sih, batin saya, setengahnya meratapi pertanyaan saya yang tolol tadi itu. Lha wong lulusan Sastra Inggris dan sekarang bekerja di lembaga keuangan kok ditanya demikian. Ya pasti lah jawabannya tidak, sebab setahu saya juga belum ada ilmu sastra yang bisa diterapkan untuk pekerjaan mengkalkulasi bunga dan memasarkan produk-produk keuangan. Mau dipaksa gimanapun ya tetap ndak akan ngematch.
“Eh, tapi dulu saya kan ambil konsentrasi Public Relation waktu kuliah di Sastra Inggris,” dia menambahkan. “Jadi kalau ilmu Purel ya masih ada kaitannya sedikit lah.”
(Btw, pria ini lulusan Sastra Inggris Universitas Ma Chung yang alamatnya di https://machung.ac.id )
Kemudian dia menambahkan bahwa banyak teman-temannya yang juga berpendapat hal yang sama. “Teman saya yang sekarang kerja jadi manajer itu, dulunya kan lulusan Manajemen. Tapi dia bilang penerapan ilmu kuliahnya ya hanya 20 – 30% aja. Kalau di lapangan, beda banget antara teori yang kita pelajari di bangku kuliah dengan kenyataan sebenarnya.”
“Iya, jadi kecakapan interpersonal nampaknya lebih berperan ya?” saya berkata dan diiyakan oleh mantan mahasiswa itu.
Jadi memang betul dugaan saya yang kemudian menjadi judul posting ini: antara studi di kampus dengan karir gak match blas.
Lantas tentu saja tersirat di pikiran: terus apa gunanya kuliah ya?
Mencoba bersikeras bahwa kuliah membekali manusia dengan ilmu pengetahuan yang nantinya akan berguna di lapangan pekerjaan rasanya sudah sia-sia. Argumen itu pasti akan mentah oleh kenyataan bahwa ilmu yang tergunakan di lapangan pekerjaan ternyata paling banter ya 20 – 30% itu tadi.
Lalu ngapain kuliah? Ya supaya dapat ijazah. Kan ijazah itu penting banget untuk mendapatkan pekerjaan. Ya okelah, tapi kalau nyatanya ilmu yang dikuasai dengan susah payah dan nantinya berujung pada ijazah itu gak match blas dengan bidang karirnya, lha terus buat apa kuliah? Ya, iya juga ya. Kenapa Universitas itu ndak mengubah layanannya dari pemacu belajar menjadi penjual ijazah dan transkrip saja? Nilai di transkrip bisa dikira-kira lewat pelatihan ala kadarnya beberapa minggu saja. Satu ijazah plus transkrip dihargai antara 90 – 150 juta, kan ya sudah setara dengan kuliah susah payah 4 tahun tho? Apakah nanti peminat belajar di kampus akan berkurang? Ya ndak juga, mungkin malah bertambah gila-gilaan karena bukankah sudah kita sepakati di atas tadi bahwa yang diperlukan untuk mendapat kerja hanya selembar ijazah?
Ini nampaknya berlaku untuk bidang-bidang sosial humaniora. Kalau bidang ilmu eksak seperti Kimia, Matematika, Fisika, Biologi mungkin masih bisa match dengan karir di dunia kerja. Tapi hmm, endak juga sih. Mantan mahasiswa itu bercerita bahwa banyak juga temannya yang dulu kuliah di jurusan Teknik Informatika akhirnya bekerja di bidang lain. Malah ada yang lulusan Kimia akhirnya menjadi kepala pemasaran produk-produk pipa besi.
Mungkin para Rektor bisa merenungkan hal ini.
Saya pribadi sudah mulai (mencoba) memisahkan antara bidang pekerjaan di luar sana dengan bidang ilmu di perguruan tinggi. Kampus adalah tempat menimba ilmu, tempat menajamkan kemampuan kognitif, mengasah karakter baik, dan meluaskan wawasan. Jadi kampus adalah ladang pengembangan ilmu. Sebagai tempat pengembangan ilmu dan sikap ilmiah, kampus lalu tidak serta-merta bisa menciptakan tali keterkaitan yang sangat gamblang dengan dunia kerja. Kadang kaitan itu jelas tampak, namun banyak kali juga kaitannya hanya samar-samar, bahkan ndak ada kaitannya sama sekali. Yang terakhir inilah yang kemudian saya labeli dengan “gak match blas” tadi.
Salah satu alternatif yang sempat menjadi bahan diskusi di beberapa khalayak adalah kampus menyesuaikan diri dengan bidang karir di dunia kerja. Ketrampilan apa pun yang diperlukan di dunia kerja atau yang masih dirasa kurang, harus dimasukkan sebagai bahan pembelajaran di kurikulum perguruan tinggi. Ya, ini bisa saja sih. Tapi pada satu titik ekstrim, kampus lantas menjadi subordinat industri belaka. Keagungan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dulu menjadi ciri keunggulannya dalam suatu masyarakat lantas pudar digantikan oleh ketrampilan praktis yang bermanfaat tapi tidak mendalam. Itu juga masih belum memperhitungkan gelombang ancaman Artificial Intelligence lho.
Di bidang pendidikan tinggi sekarang juga sedang marak istilah OBE (Outcome-Based Education). Maksudnya, lulusan kampus harus diorientasikan untuk bisa mendemonstrasikan kemampuan tertentu (outcome) yang diperolehnya setelah melalui proses pembelajaran dalam satu mata kuliah. Ya, ini pasti kemauan dari pihak industri juga, ya ndak? Okelah, untuk beberapa bidang, hal itu bisa diupayakan. Tapi bagaimana dengan mata kuliah-mata kuliah sarat teori yang bertujuan meluaskan wawasan atau mengasah kepekaan manusiawi? Bagaimana mengukur kedalaman wawasan ini melalui ujian-ujian yang lebih menginginkan ketrampilan yang bisa diamati secara fisik?
Itu satu tantangan untuk kurikulum OBE.
Lamunan saya terbuyarkan oleh mantan mahasiswa tadi yang entah mungkin kasihan melihat bekas gurunya menjadi galau, lalu mengatakan begini: “tapi saya sama beberapa teman lagi nulis sebuah buku, kok, Sir, dan disitu ilmu sastranya ya terpakai lah sedikit-sedikit.”
Saya tidak mampu menahan senyum, setengahnya geli, setengahnya lagi ya masih galau soal urusan gak match blas antara perguruan tinggi dengan bidang kerja ini.
Yoris Garfield
Juni 14, 2017
Sebenarnya bukan cuman dari ilmu sosial yang punya kasus begini Sir, dari kalangan eksakta khususnya mipa dimana saya menimba ilmu pun demikian. Mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kelas dan lab sekedar demi nilai ketimbang melakukan research dan membuat inovasi2 baru.
machungaiwo
Juni 14, 2017
Oh, jadi di bidang eksakta pun juga demikian ya? Ya, kalau lulus terus jadi peneliti atau dosen mgkn masih match ya. Memang dunia pendidikan juga harus banyak berubah nih, supaya selaras dg dunia luar kampus. Trims komennya, Yoris.
Yoris Garfield
Juni 14, 2017
Kalau dosen menurut saya semua jurusan pasti match, tapi kalau peneliti atau scientist mmg match kalau dari lulusan mipa.
Benar sir, dunia pendidikan kita mmg harus banyak berubah, karena pendidikan jadi salah satu tolak ukur kemajuan negara kita.
Sebagai mahasiswa, saya melihat kebanyakan universitas kita sekarang tidak tau arah mereka kemana. makanya tidak heran jika lulusannya juga cenderung bingung mau buat apa setelah lulus.
What a great article, Sir. 👍
denaldd
Juni 14, 2017
Saya lulusan Statistika. Ada mata kuliah Kalkulus dari kalkulus 1,2, sampai lanjut. Saking susahnya ilmu ini buat saya (pernah ngulang beberapa kali karena nilai D), sering dulu mikir : iki sakjane pas kerjo engko kepake gak sih ilmune. Karena begitu putus asa mikiri integral2 (kami menyebutnya cacing2), mau saya drop matkulnya ya ga bisa wong matkul wajib. Ealaahh ternyata pas saya dapat kerja dibidang marketing dan pegang brand, ga ketemu sama sekali dengan ilmu kalkulus. Karenanya, Kalkulus ini jadi bahan becandaan para alumni kalau sedang reunian. Susah setengah mati lulusnya pas kuliah, pas kerja ya ga kepake (buat mereka yg bekerja ga bersinggungan dengan akademis). Malah kerjaan saya yang sekarang ga nyambung blass dengan Studi saya.
machungaiwo
Juni 14, 2017
Hahaha, lha ya itu, Mbak, kalau sudah begitu pasti lah terbersit pertanyaan susah itu: “kalau dah kerja kepake endak?”. Mgkn yg didapat dari ilmu Statistik itu ya ketekunan dan kecermatan yg saat ini pasti ada manfaatnya dg apapun yg Mbak kerjakan. IMHO.
Vraz Azarav
Juni 14, 2017
wkwkwkwkw.. Cerminan Indonesia banget ya Pak.
1. Milih kuliah yang bukan sesuai minat.
2. Dorongan orang-orang “yang penting kerja” (termasuk orang tua)
3. Terbatasnya lowongan kerja..
4. Pengusaha masih takut ambil resiko untuk membuka perusahaan di bidang-bidang yang memang minim saingan (perusahaan inovasi).
Tapi, jujur saja, ilmu yang ditimba dari kampus tidak banyak karena kemampuan dosennya sendiri, kebanyakan dosen ga up to date informasi terkini yang berhubungan dengan mata kuliahnya sendiri.
Sebagai lulusan teknik, di kedalaman pengetahuan justru didapat di luar kampus.
Klo boleh bangga, kerjaan masih sesuai dengan kuliah dan minat.
machungaiwo
Juni 14, 2017
Wah, Anda beruntung mas Vraz, bisa kerja di bidang yang sama dg ilmu di kuliah. Iya, yang Anda sebutkan no 1 – 4 itu bener sekali, dan itu yang memperparah gejala gak match tadi.
wawaney
Juni 15, 2017
Kalau menurut saya, Pak, kesenjangan antara keahlian yang dibutuhkan di lapangan pekerjaan dan pendidikan yang didapatkan dari jurusan sastra Inggris akan selalu ada. Alasannya adalah karena jurusan semacam sastra Inggris ini masih termasuk dalam wilayah liberal arts (termasuk juga mata kuliah matematika dan filsafat), atau bidang ilmu level mendasar yang mestinya wajib dimiliki setiap orang. Bidang-bidang semacam ini idealnya memang bersifat memperkuat kemampuan berpikir kritis dan lebih awas sekeliling. Saya mendapatkan kesan seperti itu dari pidato wisuda David Foster Wallace di Kenyon College. Bidang-bidang semacam ini berbeda dengan bidang-bidang yang menawarkan pelatihan keahlian teknis seperti Teknik atau Hukum.
Justru, kalau menurut esai lain yang ditulis mahasiswa dan menang lomba esay di New York Times (judulnya “Two Years are Better than Four”), keunggulan dari berkuliah dua tahun di community college (yang dalam konteks ini bisa kita samakan dengan kuliah di bidang liberal arts adalah mahasiswa jadi mendapat berbagai pengalaman seperti misalnya leadership, interpersonal skill (yang seringkali diperoleh secara tidak sadar) dan mahasiswa jadi terpapar ke hal-hal yang umumnya tidak akan dia dapatkan kalau tidak kuliah, misalnya melihat pameran foto, pemutaran film independen, dan hal-hal yang seolah tidak ada manfaatnya scr langsung tapi juga memperluas wawasan dan kadang-kadang memaksa mereka berpikir tanpa harus mendapatkan hasil praktis. Hal-hal ini tidak bisa didapatkan dari paket 90-150 juta yang dicontohkan Pak Patris di atas.
Jadi, sedikit mengabaikan OBE, mungkin tugas kita para dosen di bidang sastra Inggris adalah lebih pada pendidikan humaniora yang membuat mahasiswa terbiasa berpikir, menelaah lebih dari yang kasat mata, dan selalu awas bahwa pasti sesuatu itu tidak seperti kelihatannya. Sebab, dari seluruh mahasiswa sastra Inggris di satu angkatan, yang akan melanjutkan kuliah sastra Inggris ke level selanjutnya, atau benar-benar kerja di bidang sastra Inggris (menjadi penerjemah, penulis, copywriter, dll) mungkin sangat sedikit. Dengan kata lain, dosen yg mengurusi sastra Inggris agak berbeda tugasnya dengan yg mengampu mata kuliah keahlian seperti PR dan Tourism. Itu pandangan dari saya yang jadi dosen baru kemarin sore :D.
Sebagai bandingan, di Amerika, jurusan liberal arts ini terkenal sebagai jurusan yang lulusannya punya pilihan bidang pekerjaan paling luas, karena apa yang mereka pelajari di kampus bukanlah keahlian teknis yang mengerucut, tapi pondasi pola pikir yang melebar, yang di atasnya bisa dibangun banyak hal (dengan catatan, si lulusan memang ada kemauan untuk itu). Dari kampus saya terdahulu, lulusan liberal arts ini ada yang kerja mulai sebagai sekretaris/administrative special di gurita waralaba Walmart hingga kerja di kantor luar negerinya Department of State, dari jurnalis sampai liaison misionaris. Tapi sangat banyak juga memang yang akhirnya perlu kuliah lanjut entah itu untuk jadi dosen maupun jadi spesialis bahasa. Bahkan juga banyak yg lanjut ke Law School dan akhirnya jadi pengacara. 🙂
machungaiwo
Juni 15, 2017
Pak Wawan, banyak terima kasih untuk wawasan tambahannya. Memang, seperti kata salah satu meme: “sudah kuduga” :). Sudah saya duga bahwa pengalaman dan perjuangan di bangku kuliah adalah suatu elemen laten yang tumbuh tanpa disadari, dan membentuk sikap, etos kerja, dan kebiasaan yang turut membantu lulusan-lulusan kita dalam bekerja, sembleset apapun bidang pekerjaannya dari ilmu sastra dan bahasa. Namun info dari pak Daniel di email bagus juga untuk disimak. Intinya, ada studi empiris di Amrik sana yang mengatakan bahwa mismatch itu juga umum untuk bidang2 liberal arts, termasuk bahasa. Dialektika ini menarik! 🙂