TOEIC, TOEFL dan Kita

Posted on Juli 11, 2013

2


Kepada bawah sadar kita sebagai bangsa sudah dan sedang ditanamkan bahwa salah satu standar kemampuan berbahasa Inggris itu adalah skor TOEIC atau TOEFL. Kalau Anda mau melamar pekerjaan, Anda diminta menyertakan bukti kemampuan berbahasa Inggris berupa slip skor TOEFL atau TOEIC. Kalau Anda calon lulusan perguruan tinggi, salah satu persayaratan yudisium adalah skor TOEIC atau skor TOEFL. Kalau Anda mau jadi mahasiswa di luar negeri (baca: negara-negara Eropa, Australia atau Amerika), salah satu persyaratannya adalah nilai TOEFL atau tes internasional lain seperti IELTS. Nilai minimumnya pun sudah dipatok, yakni berkisar antara 500 -700 untuk TOEIC dan 90 untuk TOEFL.

Sebagai suatu standar kemampuan berbahasa Inggris, sah-sah saja lembaga pembuatnya mengeluarkan ratusan atau bahkan jutaan dolar untuk mengembangkan kedua jenis tes itu, kemudian memperkenalkannya ke seluruh penjuru dunia (yang masuk ke dalam lingkup “koloni imperialisme terselubung” nya). Yang perlu bersikap cermat dan tidak serampangan ya kita-kita ini yang banyak menggunakan kedua tes tersebut untuk berbagai keperluan seleksi.

Yang pertama perlu kita sadari adalah esensi tujuan dari masing-masing tes tersebut. TOEFL (Test of English as a Foreign Language) adalah tes yang sejatinya ditujukan untuk mengukur kemampuan seorang calon mahasiswa dalam mengikuti kehidupan dunia akademis di kampus-kampus Amerika Serikat. Makanya, soal-soal tesnya pasti berkisar seputar topik-topik ilmiah, mendengarkan kuliah, menulis essay ilmiah dan sejenisnya. Iya ndak? Nah, maka tujuan paling tepat ketika menggunakan tes TOEFL ya untuk mengetahui kemampuan seorang mahasiswa belajar disana. Namun yang sering dilakukan oleh pihak-pihak yang latah adalah menggunakan tes TOEFL untuk seleksi pegawai negeri, seleksi guru, seleksi karyawan berprestasi dan sejenisnya. Ini sudah salah kaprah, karena ketika ditanyakan: “apakah seorang pegawai negeri akan menghadapi tuntutan komunikatif bahasa Inggris yang sama dengan seorang mahasiswa di kampus-kampus Amerika?”. Kalau jawabannya adalah “tidak”, maka pemakaian tes itu sebenarnya sudah tidak tepat.

Nah, TOEIC (Test of English for International Communication) sejatinya bertujuan mengukur kemampuan seseorang berkomunikasi dengan bahasa Inggris untuk tujuan komunikasi sehari-hari dan dalam beberapa ranah bisnis secara umum. Ini cocok untuk menyeleksi orang-orang yang dalam lingkup pekerjaannya akan banyak berkomunikasi lisan dengan orang-orang bangsa lain yang juga berbicara bahasa Inggris di ranah non-akademik. Makanya, soal-soalnya juga akan berkisar pada konteks kantor, bisnis, dan pekerjaan sehari-hari. Universitas Ma Chung memakai tes ini sebagai standar kemampuan mahasiswanya. Tidak salah, karena memang lulusan-lulusannya diarahkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin di dunia bisnis.

Satu hal lagi yang perlu dicermati adalah jangan sampai semangat untuk memenuhi standar tes itu menjadi unsur yang sangat mendominasi kegiatan pembelajaran di kelas. Ini artinya mengarahkan hampir semua kegiatan belajar menjadi Test Practice, dan dengan sekuat tenaga dan segala akal berupaya menyajikan tes-tes TOEFL atau TOEIC sebanyak mungkin kepada mahasiswa dengan harapan mereka bisa mencapai skor yang tinggi ketika tes yang sesungguhnya. Ini sudah dikutuk habis-habisan oleh para pengamat pendidikan (yang masih mengandalkan pikiran jernih dan nurani yang benar) sebagai “teaching to the test”: mengorbankan esensi pendidikan dengan segala dinamikanya untuk kegiatan “latihan soal” demi memenuhi standar berupa skor. Ini kan juga sudah terjadi dengan UNAS di negeri kita. Bahkan sedemikian jauhnya kekeliruan sikap ini merasuk sampai beberapa guru dan kepala sekolah pun merestui pencontekan atau pembocoran soal hanya supaya murid-muridnya lulus 100% !

Nah, Anda pun bertanya: “Lha kalau ndak latihan soal TOEIC atau TOEFL, terus mestinya gimana dong kita mengajarkan bahasa Inggris untuk berkomunikasi?”. Jawabnya: ya dengan melatih mereka berkomunikasi dalam bahasa Inggris, bukan melatih mereka supaya bisa menelikung jebakan-jebakan soal pilihan ganda di tes-tes tersebut. Gimana caranya melatih komunikasi itu? Ya dengan mengajarkan kepada mereka kalimat-kalimat bahasa Inggris, tata bahasanya, cara pengucapannya, memberikan mereka bacaan-bacaan berbahasa Inggris dan materi audio untuk berlatih menyerap makna lisan dan tulis, serta melatih mereka mengungkapkan buah pikirnya secara tertulis. Kalau sang murid sudah bisa dan akhirnya cakap berkomunikasi dalam bahasa Inggris, mereka juga hampir dipastikan bisa mencapai skor-skor TOEIC dan TOEFL itu. Supaya mereka tidak kaget dengan formatnya ya bolehlah disediakan 3-4 kali pertemuan kelas untuk menyajikan simulasi tes dan beberapa nomer latihan soal.

Dulu saya sama sekali tidak pernah mengikuti kursus TOEFL (yang masih berpola “teaching to the test” itu); saya tes TOEFL di Surabaya hanya berbekal kemahiran bahasa Inggris yang sudah saya asah sejak kecil dan sekolah menengah lewat banyak membaca, menulis dan berbicara. Hasilnya adalah skor 623 yang membuat saya tidak usah mengikuti kursus bahasa tambahan ketika kuliah di Victoria University of Wellington.

Posted in: Uncategorized