Salah Paham Antar Budaya

Posted on Mei 10, 2012

0


Seorang profesor dari Inggris menginap di sebuah losmen kecil di Jepang. Sebelum tidur malam, dia berpesan kepada resepsionis bahwa dia akan bangun pada jam 7 pagi. Ternyata , keesokan paginya jam 7 lewat sedikit sang profesor masih pulas. Sang resepsionis pun menelpon ke kamarnya, dan mengucapkan kalimat ini: “Sir, your time has come!”

Sang profesor kuaget dan lemas setengah mati. Kenapa? Ternyata, sekalipun locutionary (grammar dan pengucapan) sang resepsionis benar , dan illocutionary (fungsi bahasa, yaitu mengingatkan waktu) juga benar, namun perlokusinya (efek yang diharapkan dari sang pendengar) tidak tepat sama sekali. Kenapa? Karena dalam budaya bahasa Inggris, kalimat “your time has come” itu sama artinya dengan “ajalmu sudah tiba!”.

Ini satu contoh betapa pemahaman budaya tidak serta-merta terjadi bersamaan dengan penguasaan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris.

Satu contoh lain dikemukakan oleh profesor itu. Dia mengatakan, dua orang Amerika yang sedang belajar bahasa Jerman diketawakan oleh penutur Jerman asli, karena keduanya saling membalas ucapan “How are you?”. Di Amerika, sapaan “how are you” akan dibalas dengan “Fine. And you?”. Nah, di Jerman tidak begitu. Sapaan “How are you” akan dibalas dengan “Fine”, tanpa bertanya balik “how are you?”. Sekali lagi, contoh ini menegaskan poin saya di atas bahwa penguasaan bahasa tidak serta merta menyeret pemahaman budaya.

Lalu muncullah poin yang sangat menarik dari Profesor itu. Dia bilang: ‘sekalipun kita menginginkan agar murid-murid kita mempelajari dan mempraktekkan budaya bahasa Inggris, namun sangat tidak manusiawi kalau kita harus memaksa mereka untuk sepenuhnya berpikir dan bertindak layaknya orang-orang penutur asli bahasa Inggris. Pengajaran pragmatik tidak sama dengan pengajaran grammar. Dalam grammar, benar dan salahnya jelas sekali, sementara dalam ranah pragmatik lintas budaya, salah dan benar menjadi relatif, tidak absolut, apalagi kalau kemudian diikuti dengan pemaksaan supaya murid mulai berpikir dan bertutur laku layaknya penutur asli bahasa Inggris.”

Hmm . . . poin yang menarik untuk disimak. Ini mengingatkan pada pengalaman saya sendiri. Kadang-kadang saya tercengang dan merasa geli melihat tutur laku beberapa mahasiswa yang jelas-jelas bicara bahasa Inggris tapi dengan pola pikir budaya Indonesia. Contohnya, ketika mau berpisah dengan saya pada jam 9 pagi, mereka mengucapkan “Good morning, Sir!”, atau “Excuse me!”. Lha saya ya melongo dong, wong dalam budaya Inggris itu kan bukan ungkapan yang tepat untuk berpisah. Mestinya kan “Good bye, Sir” atau “See you later”, sementara ucapan “Excuse me!” dikatakan ketika harus menyela pembicaraan atau memotong jalur orang lain.

MC juga begitu. Mereka bilang :”Mr bla bla bla, time and place is yours”. Lebih gawat lagi ada yang bilang gini: “Mrs. bla bla bla, I please you to the stage!”. Astagaaa, . . . . gigolo banget! Ha ha haa!

Tapi ternyata saya pun pernah begitu . . .

Dalam budaya Indonesia, wajar sekali kalau kita berpapasan dengan seorang rekan dan bertanya “Mau kemana?”. Ketika ini saya ungkapkan dalam bahasa Inggris ke mahasiswa Amerika yang pernah kos di rumah saya waktu saya masih SMA, langsung wajahnya berubah merah padam. Baru saya tahu beberapa bulan kemudian bahwa di Amerika sana, pertanyaan “where are you going?” dianggap mencampuri urusan privat orang lain dan tabu untuk dilontarkan begitu saja.

So, this is obviously an area worth exploring in the domain of pragmatics and inter-cultural (mis)understandings.

===========================

*Disarikan dari ceramahnya Prof. Rod Ellis di FLLT 2011 di Bangkok, Thailand, 11 – 12 Maret 2011.

Posted in: Uncategorized