Cina, oh, Cina

Posted on Agustus 24, 2011

76


DSCN2092

Judul itu bukan ungkapan rasis. Judul itu hanya berisi ungkapan keheranan dan mungkin juga setengahnya ketakjuban, tapi yang jelas bukan penghinaan atau kekesalan.

Paman saya menikah dengan wanita keturunan Tionghoa. Sepupu saya juga ikut-ikutan. Lalu saya pun akhirnya mengikuti jejak mereka. Apakah janjian? Ndak lah. Mana ada kawin janjian ma saudara? Ya kebetulan aja. Kenapa saya suka wanita keturunan Tionghoa, dan sebaliknya (ya eyaaa laaah, kalo ndak mana bisa kawin ma dia??)? Ya, ndak tahu. Saya terakhir kali suka sama gadis Indonesia asli adalah ketika kelas 3 SMP. Ketika menginjak bangku SMA, selera saya berubah sama sekali tanpa saya sadar kenapa. Saya jadi lebih suka mendekati gadis keturunan Tionghoa . . . . . dan sebaliknya. . . .

Disuatu kursus privat, istri saya yang menjadi guru kursusnya ditanya muridnya, seorang wanita usia 50 an tahun lebih: “Suami kamu kerja apa?”. Istri saya bilang : “Oh, dia dosen. Suamiku orang Indonesia asli, kok, bukan Zhongguo ren.”

Terdiam sejenak. Kaget mungkin.

“Ya, ndak papa,” wanita itu akhirnya bilang. “Sekarang ya udah sama kok. Dulu anggapannya yang Indonesia asli itu lebih jelek, tapi lha sekarang ya ada juga orang yang ndak baik dari keturunan Tionghoa.”

“Iya,” jawab istri saya.

“Ya, tapi kalau saya boleh bilang,” demikian wanita itu meneruskan, “eman ya,kamu tuh nikah sama orang Indonesia asli?”

“Kenapa?”

“Ya, karena kamu tuh pinter dan cantik, dan bla bla bla. . . .”

Saya hanya tersenyum simpul mendengar ceritanya itu. Yah, saya maklum. Sudah bisa dipahami, dan dimaklumi. Ya sudah, direlakan saja dirasani kayak gitu. Kesimpulannya: kalau Anda adalah wanita keturunan Tionghoa yang cantik dan pinter, jangan menikah dengan orang Indonesia pribumi. Karena apa? Ya, karena eman itu tadi, ha ha haa!

Perkara cinta beda ras ini bisa berkaitan dengan surga dan neraka. Beberapa orang tua dari kalangan etnis Tionghoa tidak segan-segan membuang anaknya kalau  sang anak ternyata jatuh cinta dan nekad menikahi pria pribumi. Bayangkan! Orang tua tega membuang anaknya bukan karena sang anak bejat atau gimana tapi karena menikahi sesama manusia yang di mata mereka lebih rendah, apa ndak neraka ganjarannya?

Apakah dari kaum pribumi juga ada yang begitu? Ya, tolong kasih tahu kalau ada sebab sejauh yang saya tahu tidak ada orang tua dari etnis non Cina yang tega membuang anaknya karena si anak menikahi manusia beda ras.

Sentimen ras ini konon mulai padam seiring dengan munculnya gelombang reformasi yang menggantikan era kelam Orde Baru. Tapi apa iya demikian? Ternyata ndak juga. Banyak mahasiswa dari kalangan etnis Tionghoa di salah satu universitas terkenal di Surabaya yang protes kebijakan kampusnya menerima mahasiswa-mahasiswa “huana” (sebutan derogatif dari kalangan etnis Tionghoa untuk pribumi). Beberapa mahasiswa etnis Tionghoa dari kampus saya juga tidak segan pindah ke kampus rasis di Surabaya setelah melihat beberapa temannya berjilbab. Wew! Kalau generasi Orde Baru masih rasis ya bisa dipahamilah karena taktik rezim saat itu yang diam-diam rasis. Tapi kalau generasi Millennial ternyata masih sama rasisnya dengan papa mama dan engkong emak mereka, wah, ini berbahaya bagi bangsa.

Kenapa orang keturunan Tionghoa cenderung tidak suka “huana”? Jawabannya singkat saja (saya baca dari sebuah milis): “mau digimanakan juga, orang etnis Tionghoa merasa dirinya berderajat lebih tinggi daripada pribumi”.

Oke lah. Ya sudah, mau diapakan lagi. Rasisme tidak akan pernah mati dan saya juga tidak mau berlagak sok baik dan sok bijak menyarankan sikap ini itu.

***

Orang-orang dari asosiasi FG–asosiasi Tionghoa– di Blitar ini nekad datang ke rumah saya minggu sore kemarin. Sudah gitu mereka memberi saya bingkisan parcel, lengkap dengan selempang bertuliskan “Selamat Hari Raya Lebaran.” Maka saya silakan mereka duduk walaupun saya ngomel dalam hati: “sialan ni orang, ndak tahu apa kalau saya paling males nemui tamu yang berkaitan dengan urusan kantor di rumah??”.

Biyuh, ndak puas suami istri, anak sama cucu-cucunya dibawa sekalian. Sementara cucunya mainan hamster, sang suami dan istrinya berunding dengan saya tentang proyek pengajaran bahasa Mandarin yang sudah saya lakukan dengan bantuan Ciyu Fish. Setelah omong punya omong, istri saya datang membawa minuman. Sesaat kemudian, salah seorang dari mereka berkata: “Wah, kami ndak nyangka lho bahwa Bapak ini ternyata orang keturunan Cina.”

Haah? “Lho, saya bukan keturunan Cina,” jawab saya, setengah terheran-heran juga.

“Haah? Masa iya??,” mereka serempak keheranan. “Lho, tapi tadi istrinya kok Chinese?”

“Lho, iya, istri saya keturunan Cina, tapi saya ini asli Jawa, arek Malang asli.”

Dhiengng!!

Suasana mendadak kaku. Akhirnya sang Ibu itu berkata: “Yah, sekarang kan ya sama aja ya, ndak ada yang namanya pribumi atau Cina; wis sama-sama orang Indonesia kok.” Saya hanya mengangguk-angguk. “Ya, itu ungkapan pelunak yang biasanya dikatakan kalau situasi jadi agak ndak enak karena mendadak perbedaan ras tadi menyeruak ke pembicaraan yang santun”, demikian pikir saya.

Ternyata cerita masih berlanjut. Malam-malam Ciyu Fish (lha ini juga lao shi dari China yang selama ini banyak bekerja sama dengan saya di proyek pengajaran ini) mem BB chat: “Mereka kaget kamu bukan Cina. Mereka tanya apa kamu ndak apa-apa dikasih bingkisan Lebaran tadi?”

“Yah, mau apa-apa gimana?” batin saya. “Kaget ya sudah. Nasib, ha haha!”. Adapun bingkisan itu ternyata isinya roti macam-macam, mulai Khong Guan sampai sarden. Saya bawa sebagian ke kantor untuk camilan. Kalau dulu di DPM ada Pisces no. 2 yang rajin membawa camilan, sekarang di kantor saya yang baru ada aja “kiriman salah” yang membuat saya tidak akan kelaparan ketika bekerja keras sebagai Dekan. Siip thok wes!

***

Pengalaman tak terlupakan adalah ketika sebagai Dekan saya membawahi beberapa dosen dan Kaprodi dari Jinan. Ternyata bahasa Inggris mereka hmmm. . . . cukup membuat saya dan Wakil Dekan saya miris karena komunikasi jadi agak ndak nyambung. Maklum, bahasa Inggris mereka masih sangat kental beraksen Tionghoa, sementara kami berdua tidak bisa berbahasa Mandarin sama sekali. Ditanya ” apa kamu sudah menerima sms dari saya?”, dijawabnya “Oh, yes, yes, yes. Berapa nomer ponselmu?”. Wakil Dekan saya bilang, setengahnya menyalahkan saya, “kamu sih, ngomong Inggrisnya terlalu canggih. Dia ndak paham!” Nah, celaka. Lha iya lah, masa saya bilang begini ketika rapat pertama “In keeping with the spirit of maintaining our quality . . . ,” yiaaa! Sang dosen dari negeri Tirai Bambu cuma tersenyum manis, kemudian menjawab dengan kata-kata yang gak nyambung blas dengan pernyataan saya tadi. Oh, cia(la)aaaatt!! Ha ha ha! Fei chang hao!

O, ya, saya bisa nulis kek gini karena saya bekerja di Universitas Ma Chung, sebuah kampus yang didirikan oleh para pengusaha Tionghoa tapi isinya adalah kemajemukan, ndak eksklusif hanya untuk mahasiswa Tionghoa saja. Websitenya ada di https://machung.ac.id/

Post note:

eman (bs. jawa) = sayang; too bad, dalam bahasa Inggrisnya.

Posted in: Uncategorized